Baca Juga
Karena belum memiliki legalitas yang jelas, penting untuk mengetahui tata cara jual beli tanah yang belum bersertifikat agar tidak tertipu.
Tanah yang belum bersertifikat adalah tanah yang belum didaftarkan kepemilikannya ke Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Harus diakui bahwa masih banyak tanah di Indonesia yang belum dibuatkan sertifikat oleh pemiliknya.
Kebanyakan tanah-tanah yang belum bersertifikat itu berada di daerah pedesaan atau pinggiran kota.
Penyebabnya adalah minimnya pengetahuan masyarakat terkait tata cara pengurusan sertifikat tanah.
Bahkan, tidak sedikit yang menganggap bahwa tata cara pengurusan sertifikat tanah itu ribet dan berliku.
Padahal, tanah yang belum bersertifikat sangat rawan diserobot atau disengketakan oleh pihak lain.
Pasalnya, sertifikat tanah sendiri merupakan bukti kepemilikan atas sebidang tanah yang diakui oleh negara.
Apalagi tanah dengan Sertifikat Hak Milik (SHM), yang merupakan bukti kepemilikan tanah dan bangunan dengan kedudukan hukum tertinggi di Indonesia.
Nah, yang menjadi pertanyaan adalah, apakah tanah yang belum bersertifikat dapat diperjualbelikan?
Kemudian, bagaimana tata cara jual beli tanah yang belum bersertifikat?
Untuk mengetahui jawaban dari kedua pernyataan tersebut, simak ulasan di bawah ini sampai selesai.
Apakah Tanah yang Belum Bersertifikat Bisa Diperjualbelikan?
Sejatinya, tanah yang belum bersertifikat tidak bisa dikatakan tanah kosongan.
Artinya, si pemilik tanah tetap memiliki dokumen yang menyatakan kepemilikan atas tanah tersebut.
Namun, bentuknya sendiri bukan sertifikat, tetapi Akta Jual Beli (AJB) yang diterbitkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), kepala desa atau camat setempat.
Tanah tersebut juga tetap memiliki alas hak yang umumnya berupa girik atau petok d.
Maka itu, meski belum bersertifikat, tanah tersebut tetap bisa diperjualbelikan.
Kendati demikian, mungkin prosesnya akan lebih kompleks dari jual beli tanah yang sudah bersertifikat.
Pasalnya, alur pengurusan tanah yang belum bersertifikat bisa jadi lebih panjang dan berliku, ketimbang jual beli tanah yang sudah bersertifikat.
Begini Tata Cara Jual Beli Tanah yang Belum Bersertifikat
Biar aman, tata cara jual beli tanah yang belum belum bersertifikat tetap harus dilakukan melalui kantor kelurahan/desa beserta PPAT.
Maksudnya, Anda dan penjual harus mendatangi kantor kelurahan/desa terlebih dahulu untuk mengurus sejumlah berkas.
Kemudian, lakukan jual beli tanah di hadapan PPAT, untuk kemudian dibuatkan AJB yang sah atas transaksi tersebut.
Agar tidak bingung, berikut tata cara jual beli tanah yang belum bersertifikat.
1. Datangi Kantor Kelurahan atau Desa Setempat
Setidaknya ada tiga dokumen yang harus diurus di kantor kelurahan/desa sesuai lokasi tanah berada.
Ketiga dokumen tersebut adalah surat keterangan tidak sengketa, surat keterangan riwayat tanah, serta surat keterangan kepemilikan tanah sporadik.
Apa fungsi masing-masing dokumen ini? Berikut uraiannya:
a. Surat Keterangan Tanah Tidak Sengketa
Surat keterangan tanah tidak ada sengketa diterbitkan dan ditandatangani oleh kepala desa atau camat setempat.
Pada prosesnya, kepala desa atau camat akan memeriksa buku register tanah atau letter c, serta melakukan pemeriksaan secara langsung ke lokasi tanah berada.
Selanjutnya, kepala desa atau camat akan menyertakan saksi-saksi yang menyatakan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa.
Saksi tersebut biasanya adalah ketua RT dan RW, atau tokoh adat yang dihormati oleh penduduk sekitar.
b. Surat Keterangan Riwayat Tanah
Adapun surat keterangan riwayat tanah adalah surat yang menerangkan mengenai catatan kepemilikan tanah dari awal pencatatan hingga keberadaannya saat ini.
c. Surat Keterangan Penguasaan Tanah Sporadik
Sementara, surat keterangan penguasaan tanah sporadik adalah dokumen yang menerangkan tahun kepemilikan tanah tersebut.
Isi surat ini umumnya menjelaskan tentang tahun berapa pemohon memiliki, menguasai dan memperoleh tanah tersebut.
2. Lakukan Jual Beli Tanah di Hadapan PPAT
Setelah mengantongi tiga surat di atas, Anda sudah memiliki bukti yang cukup untuk mengetahui status kepemilikan atas tanah tersebut.
Sampai pada titik ini, sebenarnya Anda sudah bisa melangsungkan transaksi jual beli tanah di hadapan PPAT.
Nantinya, PPAT akan bertindak sebagai saksi sekaligus bertugas membuatkan AJB atas tanah tersebut.
Patut diketahui, AJB merupakan dokumen yang wajib disertakan dalam pengurusan sertifikat tanah.
Walau transaksi jual beli tanah sudah dapat dilangsungkan, tetapi sebaiknya Anda tetap mengurus sertifikat tanah tersebut di BPN agar legalitasnya lebih kuat.
Sebagai panduan, berikut cara tanah yang mengurus sertifikat tanah di BPN.
Cara Mengurus Sertifikat Tanah di BPN
Mengurus sertifikat ke BPN sebenarnya bisa dilakukan sebelum transaksi jual beli tanah berlangsung maupun setelahnya.
Jika dilakukan sebelum, maka yang bertanggung jawab melakukan pengurusan tersebut adalah penjual.
Namun, apabila dilakukan setelah transaksi, maka Anda ‘lah yang harus mengurus sertifikat tanah ke BPN sebagai pemilik baru.
1. Penuhi Syarat Pengajuan Sertifikat Tanah
Saat mendatangi BPN, pastikan Anda telah menyiapkan sejumlah berkas sebagai syarat mengurus sertifikat tanah tersebut.
Beberapa berkas atau dokumen yang dibutuhkan, ialah:
Surat asli tanah girik atau fotokopi letter C
Surat keterangan riwayat tanah
Surat keterangan tidak sengketa
Surat pernyataan penguasaan tanah secara sporadik
Bukti-bukti peralihan hak milik tanah bila ada
Fotokopi KTP dan Kartu Keluarga pemohon
Fotokopi bukti pembayaran PBB tahun yang sedang berjalan
Surat kuasa bila pemohon meminta orang lain untuk mewakili
Surat pernyataan sudah memasang batas-batas tanah
Dokumen-dokumen pendukung lainnya.
2. Isi Formulir Permohonan Pembuatan Sertifikat Tanah
Setelah syarat terpenuhi, isi formulir pendaftaran pembuatan sertifikat tanah yang tersedia.
Kemudian, bayar biaya pemeriksaan dan pengukuran tanah sesuai ketentuan BPN.
3. Pengukuran dan Pemeriksaan Tanah oleh Petugas BPN
Petugas BPN akan melakukan pemeriksaan serta pengukuran tanah secara langsung.
Selain melakukan pengukuran, pada prosesnya petugas BPN juga akan membuat gambar peta atas tanah tersebut.
Gambar peta tanah nantinya akan dicantumkan ke dalam sertifikat.
4. Penerbitan Surat Ukur Tanah
Apabila proses pengukuran sudah dilakukan, petugas BPN akan membuat laporan dan menerbitkan denah, luas, dan batas-batas atas tanah tersebut.
Laporan ini akan diberikan kepada kepala kantor pertanahan dalam bentuk surat ukur tanah.
5. Penelitian oleh Petugas Panitia A
Petugas Panitia A adalah petugas gabungan dari kantor BPN beserta lurah atau kepala desa setempat.
Fungsi Petugas Panitia A adalah melakukan penelitian ulang agar tidak ada kesalahan di lapangan.
6. Pengumuman Data Yuridis
Kemudian, BPN akan memasang informasi data yuridis di papan pengumuman kantor desa atau kelurahan setempat selama 60 hari.
Tujuan pemasangan pengumuman data yuridis adalah memastikan tidak ada pihak yang merasa keberatan dengan penerbitan sertifikat tanah tersebut.
Jika ternyata ada yang keberatan, permohonan pembuatan sertifikat tanah akan dihentikan sementara sampai masalah tersebut selesai.
7. Penerbitan SK Hak atas Tanah
Sementara, apabila tidak ada yang keberatan, BPN akan menerbitkan Surat Keterangan (SK) Hak atas tanah.
SK tersebut merupakan salah satu dasar penerbitan sertifikat tanah.
Namun, sebelum sertifikat terbit, pengaju perlu melakukan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan melakukan pendaftaran sertifikat.
8. Lakukan Pembayaran BPHTB
Setelah SK Hak atas tanah terbit, pengaju berkewajiban untuk membayar BPHTB.
Tarif BPHTB sendiri mencapai 5% dari harga jual dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP).
9. Penerbitan Sertifikat Tanah
Setelah semua proses di atas terpenuhi, BPN akan menerbitkan sertifikat tanah atas nama pembeli atau pemilik baru.
Bagaimana, cukup mudahkan tata cara jual beli tanah yang belum bersertifikat beserta cara mengurusnya.
Walau diperbolehkan, sebaiknya belilah tanah yang sudah memiliki SHM agar transaksi berjalan aman dan lancar.
Sama seperti tanah, membeli rumah dijual juga tidak boleh dilakukan sembarangan.